Kamis, 15 Oktober 2009

Semua Demi Jaipong

MEDIO Februari 2009 lalu, kuping sejumlah seniman dan budayawan di Jawa Barat, khususnya Kota Bandung, dibuat panas. Mereka meradang dengan tersiarnya kabar Gubernur Jawa Barat H. Heryawan mengeluarkan larangan terhadap seni ibing jaipong karena adanya unsur "3G" (goyang, geol, dan gitek) ditampilkan di Jawa Barat.

Amarah seniman dan budayawan sedikit mereda dengan diadakannya pertemuan antara Gubernur Jabar H. Ahmad Heryawan, Ketua DPRD Jabar H.A.M. Ruslan, serta sejumlah tokoh seni dan budayawan Jabar. Namun, kemarahan kembali menyeruak ketika Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring, mengeluarkan pernyataan yang menyebut sejarah jaipong berawal dari tempat-tempat maksiat dan jaipong adalah tarian erotis.

"Bercermin dari kasus jaipongan tersebut, kami merasa punya tanggung jawab meluruskan hal-hal yang keliru. Dengan adanya pernyataan seperti itu, setidaknya citra jaipongan di masyarakat menjadi kurang baik, padahal sebenarnya tidak demikian," ujar Mas Nanu Muda, S.Sen., M.Hum., salah seorang akademisi yang juga praktisi seni tari tradisi.

Dengan alasan itu pula, dipandang perlu adanya sebuah wadah dalam bentuk Komunitas Peduli Jaipong Jawa Barat (KPJJB). Menurut Mas Nanu, yang menjadi salah satu bidan bagi lahirnya KPJJB, pembentukan wadah tersebut merupakan bentuk kepedulian sejumlah seniman dan budayawan Sunda, tidak hanya terhadap seni ibing jaipongan dan tari secara umum, tetapi juga terhadap kondisi kesenian dan seniman Sunda (tradisi) secara keseluruhan saat ini.


"Memang KPJJB awalnya dibentuk sebagai bukti seni ibing jaipong masih eksis dan diterima masyarakat luas. Akan tetapi, di jajaran pengurus melihat kondisi seni dan budaya serta seniman dan budayawannya tidak ubahnya seperti anak ayam kehilangan induknya. Mereka diakui keberadaannya, tetapi tak ada yang peduli," ujar Mas Nanu.

Dalam usianya yang masih seumur jagung, KPJJB berkembang pesat. Tak hanya seniman dan budayawan Sunda, penari dan penyuka seni Sunda turut tergabung di dalamnya. Secara rutin mereka mengikuti kegiatan latihan bersama, diskusi, dan workshop.

Kegiatan workshop diselenggarakan di sejumlah sanggar seni, seperti di Kab. Purwakarta, Kota dan Kab. Bogor, Kota Cimahi dan Kab. Bandung Barat. Kegiatannya melibatkan seniman tari, musik (nayaga), pelukis, dan pemerhati dari berbagai akademisi. Demikian pula dengan diskusi yang digelar di Aula Redaksi Koran Sunda Galura, akhir bulan lalu yang disambung dengan Festival Tandang Ibing Jaipong bertempat di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat. "Meski uang penyelenggaraan hasil patungan para koreografer dan uang hasil pendaftaran, penyelenggaraan yang diikuti 260 peserta dapat berjalan lancar," ujar Mas Nanu.

Berdasarkan kesepakatan para pendiri KPJJB, menurut Mas Nanu, ditegaskan KPJJB ke depan akan menjadi sebuah komunitas independen yang peduli terhadap seni, khususnya seni tradisi dan para pelakunya. Namun, karena KPJJB juga beranggotakan para praktisi dan akademisi, serta masyarakat penyuka seni budaya, dalam setiap pertemuan, permasalahan budaya menjadi bahan pembicaraan. "Bahkan, kebijakan-kebijakan berikut kegiatan pemerintah yang berkenaan dengan seni budaya tak luput jadi bahan telaahan kami," ujar Sudrajat pemilik Sanggar Seni Fitria, Kota Cimahi, menambahkan.

Dikatakan Sudrajat, KPJJB lahir sebagai jawaban atas kegusaran dan bentuk keprihatinan sejumlah pelaku seni, khususnya tradisi terhadap kurangnya perhatian dan apresiasi terhadap warisan seni budaya bangsa. "Alih-alih memberikan perhatian yang terjadi, justru hanya memunculkan jargon-jargon," ujar pria yang akrab dipanggil Apih Ajat ini.

Menurut Apih Ajat, hingga saat ini masih timbul perdebatan antara kebudayaan, seni tradisi, dan agama. Kalangan seniman dan budayawan memiliki pandangan tersendiri tentang seni budaya. Mereka menganggapnya sebagai warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan. Sementara itu, kaum ulama juga punya pandangan tersendiri mengenai seni budaya.

Ia mencontohkan kasus jaipongan yang diadopsi Gugum Gumbira dari seni bajidoran dan dombret. Di satu sisi, terjadi proses adopsi dan penerimaan terhadap seni yang kemudian digandrungi masyarakat. Namun di sisi lain, sejumlah ulama memandang dari sisi agama, menganggap tarian tersebut kurang pantas karena terlalu menonjolkan unsur erotisme.

"Mungkin di sinilah posisi KPJJB. Kami akan berupaya memberikan pengertian, bukan menciptakan konflik dan membuat masalah baru," ujar Apih Ajat.

Sementara Gondo Gandamana lebih menginginkan kehadiran KPJJB sebagai komunitas independen yang menitikberatkan pada upaya-upaya pelestarian dan perhatian pada nasib dan kondisi para pelakunya (seniman). "Kita harus belajar banyak dari Yogya, Solo, dan Bali, bahkan sejumlah daerah di Kalimantan dan Sumatra. Di sana komunitas bersama pemerintah setempat bahu membahu melakukan upaya pelestarian terhadap seni budaya dan mengayomi senimannya," ujar Gondo yang lebih dikenal dengan sapaan Gondo Soulmate.

Untuk menjaring aspirasi dan mengakomodasi keinginan dari para seniman, budayawan, maupun masyarakat pencinta seni tradisi, di sejumlah daerah kota dan kabupaten dibuka sekretariat KPJJB. Di Kota Bandung, sekretariat terdapat di Padepokan Sekar Panggung (Ujungberung) dan Sanggar Rumingkang, Sanggar Fitria, Rengganis.

Sekretariat lainnya ada di Sanggar Dangiang (Kota Cimahi), Padepokan Kalang Kamuning dan Sanggar Surya Medal (Kab. Bandung Barat), Sanggar Arum (Kota Bogor), Sanggar Purna Yuda (Kab. Purwakarta), Sanggar Prameswari (Kab. Sukabumi) dan disejumlah kota serta kabupaten di Jawa Barat lainnya. (Retno HY/"PR")***

Sumber berita : http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=93863

Tidak ada komentar:

 
Copyright@2009 - Design By : Uje Computer.